Pages

Senin, 28 September 2020

Sistematika Ikhlas

Oleh : Munawar
Sponsored PCPM Bumi Agung

Aku tersentak, saat Mas Jayadi menyebut kalimat “sistematika ikhlas”. Jujur, baru kali ini aku mendengarnya. Sebuh kalimat yang menggodaku untuk terus mengikuti obrolan yang terjadi. Bincang-bincang sederhana antara Ketua PDM, Direktur RSHK, Tim Lazismu. Sebuah suasana yang teramat “cair” untuk dinikmati. Suasana yang terbangun saat khitanan Lazismu di Kampung Runyai, Ahad 27 September 2020.


Hari ini cukup berbahagia. Hari dimana tim medis Lazismu Way Kanan merasa sangat berbahagia. Bukan karena jarak tempuh atau jalan yang belum bagus. Kebahagiaan itu hadir dengan tambahan tim medis dari Rumah Sakit Haji Kamino Baradatu. Dengan tambahan tim ini, letupan semangat “jihad” menambah semangat dalam berbagi untuk negeri. Terlebih lagi, dihadiri orang-orang “hebat”. Terasa sangat mengasyikkan.

Aku menyengaja berbagi kegembiraan. Sebuah ekspresi yang terlahir dari suasana yang cukup familiar. Akrab tanpa ada sekat. Melekat bersama nuansa yang membahagiakan. Sungguh, sebuah anugerah yang tiada tara. Terasa sangat sulit untuk melupakan sebuah sejarah yang tercipta. Aku yakin, sejarah hari ini tidak mungkin akan terulang kembali.

Lihatlah, Pak Sul. Dengan gembira menemani ngopi “Presiden” Muhammadiyah Way Kanan, Sang Direktur yang lincah dan pengurus Lazismu. Begitu gembiranya, Pak Sul harus “rela” menahan sebuah keinginan yang terpendam. Dengan sajian kopiMu dan air nira, menambah asyik obrolan yang terjadi. Sementara, aku hanya tersenyum dan mengambil satu hidangan yang tersaji.

Aku beranjak melihat peserta pertama yang di khitan. Namanya Asqul Mareh Ramirez. Nama yang cukup unik. Sungguh luar biasa kedua orang tuanya memberikan nama tersebut. Ananda ini bercita-cita menjadi seorang Dokter. Sungguh luar biasa. Aku berdoa semoga Allah SWT mengabulkannya. Pun demikian dengan kakaknya, yang mempunyai cita-cita menjadi imam Masjidil Haram. Sekali lagi, aku berdoa. Semoga cita-cita tersebut dapat teraih dengan sempurna.

KopiMu yang terhidang masih setengah. Aku sengaja tidak langsung menghabiskan.
Bisa jadi Kang Hamdani mutung untuk mendokumentasikan kegiatan, jika ko
pi itu langsung habis. Aku harus nurut dengan “wejangan” Kang hamdani. Aku tersenyum sambil melirik sosok yang baru saja di lantik menjadi Advokat itu. Aku yakin, jika Bang Hodi merasa bahagia dan sekaligus berbagi kebahagiaan dengan hadir pada khitanan lazismu. Kalaulah boleh aku berharap, agar jangan mendaftar sebagai peserta khitan ya bang. He.he.

Tim Medis Lazismu masih berkonsentrasi penuh. Mas Abu, Mas Ali Imron dan mas Anis Mahendra. Ketiganya cukup bersemangat, meskipun baru pertama kali menghirup udara Runyai Bumi Agung. Dengan pengalaman yang dimiliki oleh ketiganya, maka aku tidak “wajib” turun tangan. Sebab, akan berdampak cukup signifikan, jika aku “turun gunung”, ikut mengkhitan.


Aku sempat berbicara kepada tim medis sambil bercanda. Sungguh, hari ini luar biasa. Bagaimana tidak, driver kendaraan yang aku naiki adalah ketua PDM Way Kanan. Sedangkan tim medis RSHK, langsung pak Direktur. Ketiganya tersenyum sambil saling pandang. Aku pun tersenyum dan menambahkan candaan. Itulah salah satu okenya di Muhammadiyah. Tiada strata yang menghalangi. Semuanya biasa tanpa harus ada sekat penghalang.
 

Aku lihat, Komandan KOKAM Way Kanan bersemangat. Memberi semangat kepada anak yang di khitan. Hmm, logat Jawa nya belum nampak, meskipun berbahasa Jawa. Dengan ikhlas, Bang Emon menuntun melafalkan surat-surat pendek juz ke 30. Dimulai dari Surat Al-Fatihah sampai Al-Ikhlas. Itu yang aku dengar. Ini menandakan bahwa banyak cara untuk “menghilangkan” konsentrasi anak saat di khitan.


Cuaca cukup terik. Panas sang surya menandakan bahwa hari ini masih musim kemarau. Meskipun begitu, aku tidak kuatir. Aku yakin bahwa air mudah didapatkan. Terlebih lagi untuk berwudhu. Aku berbisik lirih ke Ketua PCPM Bumi Agung. Menanyakan dimanakah letak masjid. Dengan sigap, sang ketua pemuda ini menjawab. “Siap mengantar”.

Aku merasa senang, saat ketua PCPM Bumi Agung men-starter kendaraan roda dua. Inilah kesempatan yang tidak pernah aku dapatkan. Bagaimana tidak, aku duduk dibelakang. Dibonceng bang Jemi menuju masjid. Tentu ini kesempatan yang cukup berharga. Berjamaah sholat Dzuhur. Menunaikan kewajiban bagi seorang muslim. Sambil bercanda, aku berbisik lirih. “Bang, jangan jadi imam ya, kita makmum saja”. Ia hanya tersenyum sambil menghidupkan kipas angin.

Suasana khitanan lazismu ini cukup sederhana. Ini sudah menjadi tradisi yang harus dipertahankan oleh semua warga persyarikatan. Tiada acara lain-lain saat mengkhitan. Biarlah acara inti saja, mengkhitan. Datang, melaksanakan khitan, menyampaikan amanah dari donatur dan pulang. Sesederhana mungkin. Siapapun yang hadir, tidak akan diberikan “panggung” untuk berbicara tunggal. Cukuplah kita ngobrol dengan beragam cerita dan tema.

Satu hal yang pasti, semangat dalam menjalankan persyarikatan harus selalu ada. Selalu siap sedia, selalu bergembira. Sebuah gambaran yang tertera dalam Mars Pemuda Muhammadiyah. Semangat memberi tanpa pamrih. Mengeluarkan semangat kebersamaan dan keikhlasan. Menjalani kehidupan yang sudah ditentukan.

Barang kali ini yang di maksud oleh Mas Jayadi tadi. Sitematika ikhlas. Dimana hanya keikhlasan yang ada dalam berbuat kebaikan. Karena pada hakekatnya, ikhlas adalah salah satu poin penting dalam beragama. Bahkan, ikhlas harus menjadi urat nadi bagi kader-kader Muhammadiyah.

Aku kemudian teringat akan Ayahanda Haedar Nashir.
Beliau menulis dalam majalh Suara Muhammadiyah,  edisi 25 Juli 2018. Ayahanda menulis, “Kebesaran Muhammadiyah itu lahir dari jiwa, sikap, dan pengkhidmatan para mukhlisin dan mujahidin gerakan itu. Keikhlasan dan kesungguhan merupakan energi ruhaniah yang dahsyat dalam membawa keberhasilan perjuangan dakwah sepanjang sejarah. Mereka tidak pernah mengejar jabatan, yang dapat menghilangkan nilai perjuangan dan pahala amaliahnya laksana debu di atas batu yang tertiup angin kencang”.

Dalam perjalanan pulang, aku masih mengingat apa yang disampaikan Mas Jayadi. Sebuah pemahaman yang bijak untuk bisa melaksanakan sistematika ikhlas. Aku ingat, dengan gaya khasnya, pak Direktur menyampaikan secara terperinci. Cukup lugas dalam penyampainya. Aku tetap diam mendengarkanya.

Nah, kesempatan terbaik saat ini adalah menuliskanya. Meskipun tidak keseluruhanya. Sebab jika semua, tidak cukup empat semester menyelesaikan materi itu. Sambil membayangkan Mas Jayadi berbicara, sedikit aku uraikan. Istilah sistematika ikhlas itu mempunyai tiga poin. Pemberi, harapan dan hasil. Sederhananya adalah pemberi dibagi harapan sama dengan hasil.

Hmm, aku tersenyum sembari mengangguk. Kemudian aku melanjutkan ingatan tadi. Jika kita memberikan sesuatu kepada orang lain dan berharap akan mendapatkan dua, maka kita hanya menghasilkan setengah. Sementara, jika kita memberi satu dan berharap satu, maka hasil yang akan diperoleh adalah satu. Namun, jika kita memberikan satu dengan tidak mengharapkan apa-apa, maka hasilnya sungguh luar biasa. Tak terhingga. Begitulah kira-kira apa yang aku tangkap dalam obrolan santai tadi.

Luar biasa memang. Cukup berharga ilmu tersebut. Namun akan menjadi sia-sia jika kita tidak mampu melaksanakan. Aku pun harus berterimakasih atas pemberian ilmu tadi. Sebuah pengetahuan yang tidak pernah aku dapatkan saat belajar bersama Aristoteles, Socrates, Plato bahkan Rene Descartes. Pengetahuan ini justru aku dapatkan di sebuah kampung. Runyai namanya.

Bagiku, pengetahuan adalah ilmu. Namun, tidak bisa sesederhana untuk menggambarkan atau menjelaskan sebuah ilmu pengetahuan. Membutuhkan lebih dari sekedar tahu. Sebab, tahu saja tidak cukup, dibutuhkan tindakan aksioma yang konsisten, kata Ayahanda Ketua PDM saat sampai pertigaan simpang Way Tuba.

“Kita tahu, bahwa sholat itu wajib hukumnya. Namun, tidak semua bisa melaksanakan kewajiban itu. Artinya, diperlukan sebuah tindakan. Melaksanakan sholat”. Hmm, konsep sederhana yang logis.

 

Runyai, 27 September 2020

 

2 Comments:

  1. Ciwul/RuangSuci said...
    Mntap
    Unknown said...
    Mantap ..ternyata berbagi itu indah

Post a Comment