Pages

Minggu, 27 September 2020

Napak Tilas


By: Munawar

Sponsored: Kopi NA

Sabtu, 26 September 2020 adalah hari yang menggembirakan. Hari ini, Aku dan Tim Medis Lazismu Way Kanan akan napak tilas. Sebuah perjalanan kembali untuk merealisasikan “wasiat” Ayahanda Edward Anthoni. Sebuah wasiat yang selalu Aku ingat.”War, teruslah berbagi dan membantu masyarakat”. Pesan tersebut disampaikan saat Ayahanda Edward Anthony memberikan zakat profesinya kepada Lazismu Way Kanan.

Sembari menunggu kendaraan tim medis, aku membaca tulisan di Suara Muhammadiyah. Tulisan dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Prof. Dr. K.H. Haedar Nashir, M.Si,  “ Muhammadiyah itu organisasi besar yang berdiri tegak diatas sistem, dengan amal usaha dan jaringan yang luas. Kekuatan Muhammadiyah berada dalam sistem, bukan atas hasrat dan kehebatan individual. Muhammadiyah itu Persyarikatan”. Aku menggangguk perlahan. Sebuah pemaknaan yang harus disertai dengan aksi nyata dalam memberi untuk negeri.

Alhamdulillah, kendaraan telah tiba. Aku masuk kendaraan sembari berdoa, “ Subnahalladzi shakhoro lana hadza wa ma kunna lahu muqrinin, wa inna ila rabbina lamungkolibun”. Aku yakin, Mas Wasil, Mas Aji, Jeng Rina dan Bidan Eka sudah hafal di luar kepala. Sementara, sosok kecil Ashraf, mungkin belum hafal. Dalam hati aku berkata, “menjadi kewajiban orang tuanya untuk mengajarkanya”. Hmm, bukankah begitu duhai bidan Eka? Aku bertanya dalam hati sambil tersenyum. Ah, ternyata  hari ini muli Eka tidak lagi menggunakan jilbab biru. He.he.

Diawal perjalanan, lagu Iwan Fals terdengar asyik. Meskipun aku bukanlah “penikmat” musik itu, namun aku tetap mampu menikmatinya. “Manusia Setengah Dewa”. Aku hampir hafal lagu itu, meskipun tidak pernah menyanyikan secara langsung. Apalagi live show. Tidak pernah sama sekali. Alunan lagu tersebut terasa menghibur. Saat menikmati itu, sebuh truk dari arah berlawanan melaju dengan kecepatan tinggi. Nyaris saja berbenturan. Beruntung driver yang membawa kami cukup gesit. Aku kagum. Ternyata Mas Wasil lebih gesit dariku. He. he.

Jalan lintas Sumatera sudah tidak asing lagi bagiku. Inilah jalan utama. Dan untuk menuju Kampung Juku Batu, melalui jalan ini merupakan sebuah keniscayaan. Jalanan yang cukup ramai,meskipun akhir pekan. Namun, jalan lintas yang  aku lalui hanya sampai di Kecamatan Baradatu. Sebagai seorang “navigator”, aku mengingatkan sang driver untuk belok kanan.

Jalan ini cukup ramai dengan lalu lalang kendaraan. Meskipin tidak selebar dan sebagus jalan Lintas Sumatera. Dibutuhkan konsentrasi level “dewa” untuk bisa melaluinya dengan baik. Aku lirik sekilas, ternyata Mas Wasil masih konsentrasi penuh. Fokus kedepan, meskipun kaca mata hitamnya belum di pakai. Suasana dalam kendaraan cukup hening. Namun lagi-lagi lantunan lagu menggodaku untuk mendengarkanya. “Seberkas Sinar”. Suara Nike Ardila cukup merdu. Namun konsentrasiku bukan pada suara itu. Aku menikmati suara dari arah belakang.  Hmm, ternyata merdu juga suara pemilik jilbab juning itu. Aku hanya berharap jangan pernah diajak duet. Bisa berbahaya.

Pada tempat yang sudah ditentukan, aku berhenti sebentar. Tempat ini adalah rumah kediaman Mas Iwan dan Mbak Minati. Nama yang tidak asing bagiku. Keduanya adalah aktivis Muhammadiyah. Mas Iwan adalah Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PDM Way Kanan, sedangkan Mbak Minati adalah ketua Nasyiatul Aisyiah Way Kanan. Disinilah, Kang Mas Ellen dan rombongan menemui. Dari jauh, nampak gadis mungil berkacamata. Cukup lincah dan enerjik. Gadis kecil cantik itu adalah anak Mas Iwan dan Mbak Minati

Kelelahanku terobati, saat sambutan hangat mewarnai kehadiran Tim Lazismu Way Kanan. Aku bahagia, Bapak Kepala Kampung dan masyarakat Juku Batu turut menyambut. Rasa bahagia pun hadir ketika senyuman para bunda PAUD NA Banjit berkembang. Aku menyaksikan langsung senyuman Mbak Minati, Bunda Litakun Karimah dan Bunda Novita Sari. Bagiku dan tentunya Pimpinan Daerah Muhammadiyah Way Kanan, pertemuan hari ini merupakan sebuah anugerah. Bagaimana tidak, sebuah ekspresi kebahagiaan benar-benar terjadi. Pun demikian para orang tua dari anak-anak yang akan di khitan. Semuanya bahagia.

Kehadiran kepala kampung Juku Batu semakin menambah semangat. Kopi yang tersaji menemani obrolan siang ini. Bagiku, tangisan anak yang di khitan adalah sebuah ekspresi kegembiraan.  Terlebih lagi, Aku mendapati aura positif dari orang nomor satu di kampung ini. Nama Beliau adalah Pak Joni Helmi. Begitu enerjik, muda, mudah bergaul dan ganteng.

Meskipun hanya lima anak yang akan di khitan, namun suas

ana cukup ramai. Keluarga dan sanak kerabat ingin melihat langsung proses khitan. Walaupun tim Lazismu Way Kanan sudah berusaha memberikan pengertian. Namun, “acara” tersebut lebih menarik untuk dilihat secara langsung. Menyaksikan hal itu, aku hanya tersenyum memaklumi. Biarlah alami berjalan dengan sendirinya

Kopi NA yang tersaji hampir habis. Obrolan di bawah terik matahari semakin mengasyikkan. Cuaca panas tidak menyurutkan untuk terus berbagi cerita, meskipun topik pembicaraan berlain-lainan. Maklumlah, sebuah pohon Jengkol melindungi. Aku menyimak dengan baik. Ada hal yang menarik perhatian ku. Dengan cerdik dan ilegan, Mas Wasil menjelaskan sekaligus mengenalkan Muhammadiyah. Jujur, kemampuan diplomasi nya sangat cekatan. Penguasaan bahasa dan alur argumentasi yang di bangun, cukup mengagumkan. Ya itulah, Muhammadiyah yang aku kenal. Begitulah Muhammadiyah berbuat, memberikan yang terbaik untuk anak negeri.

Sudah sewajarnya jika para aktivis Muhammadiyah mengenalkan Muhammadiyah dengan cara yang santun. Berbuat kebajikan adalah instrumen penting dalam ber -Muhammadiyah. Salah satunya adalah khitanan Lazismu. Kegiatan rutin yang sudah berjalan dua tahun lebih. Aku kemudian berkata dalam hati, “maa ajmala hadza mandzor”. Duhai alangkah indahnya pemandangan ini. Ya sebuah komunikasi sederhana nan istimewa dalam mengenalkan Muhammadiyah.

Suasana di dalam kelas PAUD NA Banjit menggodaku. Beranjak aku melihat kedalam. Menyaksikan bagaimana Mas Aji, Jeng Rina dan Bidan Eka sibuk. Menenangkan anak-anak. Demikian juga orang tua mereka yang mendampingi langsung. Meskipun menangis, Syarif, Fahri dan Riski sudah selesai di khitan. Nampaknya, ini pengalaman yang “luar biasa” bagi tim medis Lazismu Way Kanan.

Aku kembali ke bawah pohon Jengkol. Satu-satunya pohon yang dibiarkan tetap berada pada posisinya. Aku sempat berfikir, mungkin para bunda PAUD NA Banjit ini “hobi” makan Jengkol. Ups, aku tersenyum sendiri. Dari jauh nampak sahabat yang gagah datang. Aku biasa memanggilnya Mang Tarsan. Sosok sahabat yang selalu ceria dan tertawa.“Mang, jangan minta di khitan lagi ya”, ucapku saat duduk bersebelahan. Dia pun tertawa lepas. Begitulah keakraban ini tercipta.

Khitan sudah usai. Seperti biasa, masing-masing dapat “hadiah” istimewa dari para donatur. Satu karpet telur, Kopi NA dan satu buah amplop. Entah apa isinya. Yang pasti, bukan sambel jengkol. Aku melihat Mas Iwan tertawa mendengar candaanku.

Air disini cukup dingin. Aku merasakannya saat hendak sholat Dzuhur. Air yang bersumber dari pegunungan sangat jernih. Beruntung masyarakat Juku Batu di anugerahi air yang berlimpah. Sementara, aku sudah beberapa kali membeli air untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Hmm,... Inilah salah satu keadilan dari yang Maha Pencipta. Begitulah pemaknaan terdalam sebelum takbiratul ikhram dilaksanakan. Bagiku, menjadi makmum sudah lebih dari cukup.

Semerbak aroma bunga kopi begitu harum. Aroma khas yang tidak pernah ada di Klinik Ramik Ragom, apalagi di rumah ku. Sungguh aroma yang terlahir dari barisan pohon kopi yang sedang berbunga. Ingin aku menciumnya, namun aku urungkan niat itu. Aku kuatir di tinggal Mas Iwan. Jika hal ini terjadi, maka untuk menuju sungai Way Umpu, harus berjalan. Beruntung “hasrat” untuk mencium bunga kopi aku abaikan, setelah melihat jalan yang cukup “aduhai”.

Di Sungai inilah Ayahanda Edward Anthony pernah bercengkrama. Menikmati pemandangan yang indah. Menyantap makanan yang tersaji. Sangat menikmati suasana yang alami. Suasana yang ada tercipta dari sang Maha Pencipta. Sungai ini telah menjadi saksi nyata. Menggoreskan catatan sejarah yang terus akan mengabadi bersama gerakan Lazismu berbagi.

Disinilah aku berada. Hari ini. Pada sungai yang sama. Aku menyengaja berjalan terlebih dahulu ke sungai. Menyendiri menggali nukilan peristiwa yang terpatri. Menyendiri memaknai aliran sungai yang tiada berhenti mengalir. Menyendiri memantapkan niat melanjutkan “renstra” besar dari sang Maestro Muhammadiyah Way Kanan. Ayahanda Edward Anthony.

Aku masih di sungai ini. Memahami makna air yang terus mengalir. Melukiskan gelombang dan riak-riak air. Merenungi kokohnya bebatuan besar. Semuanya menyatu bersama “rekaman” yang hanya tertuju pada Ayahanda. Tak kuasa, air mata menetes. Jatuh bersama aliran sungai yang berlalu.

Aku sengaja meletakkan topi yang terpakai. Di atas sebuah batu besar. Tepat didepan sebuah batu yang pernah di duduki Ayahanda. Sambil membasuh muka, aku menghela nafas panjang. Inilah sebuah “titah” yang harus selalu bergerak. Ibarat air yang terus mengalir. Bagiku, ini adalah tesa yang harus dilakukan. Dengan itu, maka antitesa akan berkembang. Pada akhirnya akan melahirkan sintesa.

Terimakasih Ayahanda. Engkau telah mengajarkan beragam kebaikan dan kebajikan. Inilah sebuah nuansa yang tidak pernah habis untuk ditulis. Ibarat samudera kebahagiaan yang terus tumbuh. Semakin banyak memberi, kebahagiaan akan terus berkembang.


Tak terasa, waktu terus bergerak. Menu santap siang sungguh lengkap. Menggoda untuk segera di nikmati. Aku tersenyum, saat Jengkol ada diantara menu itu. Meskipun aku tidak tergoda untuk mengambilnya, namun aku tersenyum melihatnya.

Satu kesimpulan sederhana dan sekaligus menemukan sebuah jawaban. Alasan terbaik dengan membiarkan pohon Jengkol itu tetap tumbuh adalah agar bisa di nikmati. Sehingga para Bunda PAUD tidak merasa kesulitan jika suatu saat “ngidam” Jengkol. Cukup menunggu pohon depan sekolah itu berbuah. He.he.

Dalam perjalanan pulang, aku tak mampu memejamkan mata. Bukan karena aku menjadi navigator lagi. Bukan itu. Namun, kembali suara yang tak asing terdengar. Mengikuti lagu yang berirama pop. Ternyata suara bidan Eka. Tak menyangka, suara khasnya keluar kembali. Aku cukup menikmati suara itu, sembari melihat pemandangan alam yang cukup memesona. Keindahan yang tak terlukiskan. Alam yang sangat menggoda mata untuk memandangi lebih lama. Suasana inilah yang membuat sang bidan ini mengaminkan jika memang jodohnya kelak dari Juku Batu. Ya, siapa tahu begitu. Benar kan jeng Rina. He. He

Meskipun hampir dua tahun, aku baru tahu tentang satu hal. Ternyata, sisa kulit yang di khitan (kulup) itu diminta oleh orang tuanya. Entah untuk apa hal tersebut dilakukan. Aku pun tidak berusaha menanyakan. Barangkali hanya tradisi yang sudah turun temurun. Dalam hal ini, aku "wajib" menghargai tradisi yang ada. Bagiku, yang pasti adalah wajib hukumnya bagi laki-laki beragama Islam untuk berkhitan. Cukuplah khitan tersebut menjadi yang pertama dan terakhir.

Juku Batu, 26 September 2020

 

1 Comment:

  1. Ciwul/RuangSuci said...
    👍👍👍

Post a Comment