Pages

Kamis, 02 November 2017


Pada 18 November 2017 ini, Muhammadiyah genap berusia 105 tahun dalam hitungan kelender miladiyah atau masehi. Didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 di Kauman Yogyakarta, organisasi ini telah melahirkan ribuan amal usaha yang tersebar se-antero Nusantara. Bahkan, juga tersebar di luar negeri dengan pendirian berbagai Cabang Istimewa Muhammadiyah.
Dalam setiap zaman, tantangan yang dihadapi Muhammadiyah juga cukup beragam. Tidak terkecuali dalam tahun 2017 ini, masalah kebersamaan anak bangsa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi salah satu tantangannya.
“Berdasarkan kajian mendalam, Pimpinan Pusat memutuskan tema milad Muhammadiyah tahun 2017 ini adalah: "Muhammadiyah Merekat Kebersamaan,” jelas Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim, Nadjib Hamid MSi kepada PWMU.CO (2/11).
Kepada warga Muhammadiyah, Nadjib meminta agar kegiatan milad ini diselenggarakan dalam berbagai bentuk syiar dan dakwah bil-hal. “Bentuk kegiatan diharapkan bersentuhan langsung dan bermanfaat bagi masyarakat. Juga untuk memperkuat silaturrahim dan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak.”
“Untuk teknis pelaksanaannya, Muhammadiyah menyerahkan sepenuhnya kepada masing-masing pimpinan Persyarikatan setempat. Asalkan, tidak melenceng dari prinsip dan misi gerakan Muhammadiyah,” tambah Nadjib.
“Mari kita jadikan Milad sebagai momentum kolektif guna mendorong semangat tanwir (pencerahan) dan taghyir (perubahan) guna membangun Muhammadiyah Berkemajuan yang otomatis juga akan berkontribusi bagi Indonesia yang berkemajuan,” pungkas Nadjib.
Sumber: https://www.pwmu.co/40238/2017/11/inilah-tema-milad-ke-105-tahun-muhammadiyah-2017/

Senin, 07 Agustus 2017

Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah untuk pertama kalinya mengadakan pertemuan akbar di Graha Cakrawala Universitas Negeri Malang (UM) pada Ahad (6/8). Kegiatan yang berhasil mengumpulkan ribuan masyarakat ini untuk menunjukkan bahwa kedua organsiasi ini sebenarnya memiliki ikatan persaudaraan yang kuat.

"Meski kita memiliki visi dan cara dakwah yang beda, NU dan Muhammadiyah jangan pernah mau dibenturkan oleh siapa pun karena kita sebenarnya bersaudara," ujar Ketua Pengurus NU Cabang Kota Malang, Kyai Haji Isrroqunnajah.

Menurut Isro, NU dan Muhammadiyah dipersatukan umat atas cinta dalam keimanan yang kuat. Untuk itu, dia mengajak kedua organsiasi ini untuk saling bersinergi termasuk dengan pemerintah. Banyak program pemerintah yang nyatanya tidak dapat terealisasi tanpa ada keterlibatan NU dan Muhammadiyah di dalamnya.

Isro juga menegaskan, NU dan Muhammadiyah pada dasarnya memiliki sanad keilmuan yang sama. Masalah perbedaan pendapat itu biasa, baik di antara dua organisasi ini maupun dalam internal masing-masing. Hal yang terpenting, perbedaan pendapat ini tidak mengoyak kerukunan di organisasi tersebut.

"Yang penting saling memahami dan pada akhirnya saling menghormati serta menyatu menjadi satu dalam banyak hal," katanya.
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/17/08/06/ou9dmy354-nu-dan-muhammadiyah-jangan-mau-dibenturkan-oleh-siapa-pun

Rabu, 10 Mei 2017

Kalangan pesantren gigih melawan kolonialisme dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Selanjutnya didirikanlah Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar) yang dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Sementara itu, keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana–setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya,  muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bi’dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagi Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy’ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
(Sumber : http://www.nu.or.id/)

Selasa, 09 Mei 2017

Bagi Muhammadiyah Pancasila dan NKRI sudah final, bahkan Muhammadiyah menyebutnya sebagai Darul Ahdi wa Syahadah, yakni Pancasila adalah kesepakatan kita bersama sebagai bangsa dan negara menuju Cita-cita Indonesia yang sejahtera.

Jadi, bila ada Ormas atau kelompok yang mengacam mengganti Pancasila melalui gerakan yang sistematik dan massif maka Silahkan proses secara hukum, buktikan secara faktual. Begitu juga dengan HTI, Pemerintah harus mengedepankan proses hukum tidak melakukan tindakan represif diluar hukum, jadi narasi yang dipilih Pemerintah yang paling tepat adalah mengajukan pembubaran HTI ke Pengadilan, Silahkan Pemerintah membuktikan apakah HTI betul merongrong Pancasila dan Silahkan juga HTI membela diri. Jadi, Pemuda Muhammadiyah tetap berpijak melalui cara-cara Konstitusional.

Jangan sampai, cara-cara non demokratis dipilih sehingga merusak tatanan kebebasan bersyarikat yang sudah diatur dalam Undang-undang Dasar kita. 

Kami juga mengimbau semua pihak menyerahkan pada proses peradilan nanti, tidak kemudian melakukan tindak-tindakan anarkis, misal mengancam HTI dengan cara-cara Premanisme, selama proses hukum masih berlangsung, sebagai rakyat Indonesia semua anggota HTI bebas bersyarikat dan harus dilindungi oleh Pemerintah, kecuali mereka terang melanggar hukum. 

Kami tidak menghendaki Negara atau anggota kelompok lain menjadi Hakim terhadap pemikiran, yang sejatinya dilindungi di era Demokrasi. Bahkan, Islam terbiasa dengan pluralitàs produk pikir. Secara Institusional keinginan Pemerintah membubarkan HTI bisa menutup HTI secara Institusional, namun secara hukum Mudah bagi Mereka berganti baju, maka jalan dialogis memberikan pemahaman tentang pemikiran Kebangsaan agaknya perlu dilakukan, pemikiran hanya bisa dikalahkan oleh produk pemikiran lainnya, pun demikian wacana kekhalifahan HTI, lebih efektif ditangkal dengan wacana khazanah pemikiran Islam lain yang compatible dengan keIndonesiaan 

Salam
Dahnil Anzar Simanjuntak
Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah