Sabtu, 12 September 2020
Oleh:
Munawar
Sponsored by Kopi NA
“Anak
laki-laki itu harus siap sedia”. Sayup-sayup aku dengar percakapan seorang ayah
kepada anaknya. Sebuah untaian nasehat. Percapakan itu membuatku terdiam sesaat.
Aku menoleh sambil memperhatikan keduanya. Mereka asyik melihat tim kesehatan
Lazismu Way Kanan bekerja. Mengkhitan tiga anak dari kampung yang berbeda.
Siap
sedia. Itu kata kunci. Pembuka pintu yang tersisa. Hmm....aku mengangguk tanpa
makna. Bisa jadi itu adalah sebuah rayuan. Gombal
mukiyo, kata orang Jawa. Sudah gombal
harus di tambah mukiyo. Berat benar
ini pemaknaanya. Sampai kapanpun, kalau kata itu hadir, tertawa menjadi sebuah
kepastian. Bertanyalah kepada kedua kadus Umpu Kencana ini. Pasti penjelasanya
membuat ngekek.
Kang
Mahfudz dan Mas Budi bukanya tidak mau menjelaskan. Aku tahu dari kedipan
matanya. Penuh makna isyarat. Terlebih lagi ada Pa’de Eko. Semua hanya bagian
dari pinggiran rengginang. Entah bisa di makan atau tidak, jika tengahan
rengginangnya tidak ada. Sebuah istilah yang mungkin bermakna ganda.
Aku
tersenyum. Berusaha menyimpan kedalam file
memoriku. Sambil berharap suatu saat ada yang mau menceritakan renyahnya makan
rengginang. Sekali lagi aku hanya tersenyum. Kembali fokus pada pekerjaanku memilih
foto terbaik. Inilah profesiku saat ini. Mengabadikan moment penting. Peristiwa
yang tidak akan terulang kembali. Hmm...momen bersejarah.
Cuaca
begitu terik menyengat. Keringat seakan tak berhenti mengalir. Sebuah kursi
menjadi benda berharga. Bersandar adalah cara terbaik saat ini. Dari sudut
kanan, Pa’de Eko masih sibuk. Sedangkan dua tim medis nampak konsentrasi. Sangat
berbahaya jika konsentrasi tersebut hilang. “Iso
tekan pok. Gawat kan”. He.he. Begitulah guyonan kawan-kawan.
Ada
yang berbeda hari ini. Aku mencari-cari nuansa itu. Namun, sampai detik ini
belum ketemu. Apakah tangisan anak yang di khitan? Canda tawa kawan-kawan? Ataukah
bidan jilbab biru dan jilbab kuning belum tersenyum? Nampaknya bukan. Jujur,
masih sulit bagiku tuk menemukan nuansa yang berbeda ini.
Aku
beranjak. Sengaja mencari nuansa itu. Ku pandangi pohon rambutan yang tak berbuah.
Pohon itu membisu. Seakan mengejekku. Meskipun demikian, aku tetap mencari. Dimanakah
nuansa berbeda itu.
“Mau
kemana mas?”, tanya seorang warga.
“Kebelakang
sebentar pak”. Jawabku tersenyum
Aku
hanya menemui sepi. Bayangan fatamorgana pun tak mau hadir. “Ada yang kurang”,
pikirku selanjutnya. Aku masih belum bisa menemukan jawaban. Ya, sebuah jawaban
dibalik kegelisahan jiwa.
Ah
biarlah. “Ben ke wae yo mas”, sebuah
suara berkata. Suara yang familiar aku dengar. He.he. Bisa jadi itu hanya
sebuah imajinasi liar. Bayangan maya dalam bingkai embun pagi. Biarkan saja
mengalir. Toh, seliar liarnya imajinasi tak berbahaya. Perbuatanlah yang
membahayakan. Akan lebih berbahaya lagi jika kedua duanya bertemu. Apalagi di
tepi pantai.
Jangan
membicarakan pantai ya. Bisa saja mengingatkan masa lalu. Kalau masa lalu itu
indah, pasti mengasikkan. Jika sebaliknya. Hmm...runyam jadinya. Bukankah pantai
mengajar keindahan? Desiran ombak, terpaan angin, juga pasir yang menggoda.
Lupakan
pantai sejenak. Begitu nasehat yang ada. Lebih baik bercerita tentang Way Giham
atau Way Umpu. Banyak hal bisa dilaksanakan disana. Bukan hanya sekedar
memancing, bermain petak umpet pun
bisa. Hanya satu syarat utamanya. Jangan bermain malam hari disana. He.he.
Aku
masih terus mencari. Nuansa yang berbeda cukup rumit ditemukan. Minimal saat
ini. Apakah ini bermakna? Bagiku, cukup bermakna. Sebuah perwujudan hakiki akan
nampak dengan sendirinya.
Dalam
pencarian ini, desiran angin mengabarkan. Ingatanku melayang tentang kisah
Qorun. Manusia yang sangat kaya. Harta begitu melimpah. Nampaknya, kebahagiaan
selalu ada. Sebuah kebahagiaan yang telah diberikan. Kebahagian yang
ditakdirkan.
Aku
kembali. Menemui kawan-kawan. Melihat proses khitan yang belum usai. Dengan langkah
santai aku berjalan. Senyumanku hadir. Sebuah tanda bahwa kerisauanku terjawab.
Aku kembali dengan perasaan berbeda. Yang membedakan adalah sebuah jawaban. Aku
telah menemukan sebuah jawaban atas kegelisahanku. “Yes, yes, yes”, batinku berkata.
Kebahagiaan.
Ya itulah jawabanya. Aku ingin bahagia. Masyarakat yang menyaksikan ingin
bahagia. Bahkan, semuanya ingin bahagia. Termasuk Syekh Siti Jenar dengan
manunggaling kawulo gusti –nya, ingin bahagia. Apalagi, kebahagiaan itu mudah
didapatkan. Semudah aku mendapatkan sebuah senyuman yang menggoda. Hmm...
Inilah
kebahagiaan itu. Kebahagiaan Mas Aji dan Jeng Rina. Mungkin dapat aku tandai
dengan adanya kondisi psikologis yang positif. Kondisi ini didukung dengan
tingkat emosi positif yang tinggi. Satu hal lagi adalah tingkat emosi negatif keduanya
yang rendah. Kira – kira begitu ya jeng.
Kalaulah salah, please, jangan ngambek. Ini hanya efek gombal mukiyo tadi. He.he.
Tapi,
semua itu hanya bersifat sementara lho jeng.
Kebahagiaan orang tua menyaksikan anaknya di khitan, juga sementara. Termasuk kebahagiaan
Mas Eko bisa bertemu dengan kader IMM. Sekali lagi, itu hanya sementara. Meskipun
bisa bangga menjadi driver Om Tri
Sudarto yang sempat nyasar. Bagiku, kader IMM nyasar itu juga bagian dari kebahagiaan sementara.
Dengan
kondisi ini, aku teringat seorang tokoh. Nah, Om Tri Sudarto dan Pa’de Eko
wajib membaca buku ini ya. Akan tetapi saya ga yakin, keduanya mau ya. Bayangkan
saja. Judul bukunya saja sulit diterjemahkan. Jika tidak percaya, silahkan baca
dan nikmati kesusahanya. He.he.he. " Authentic Happiness : Using the New Positive Psychology to
Realize Your Potential for Lasting Fulfillment”. Bagaimana? Bisa kan menerjemahkan judul itu? Kalau bisa, aku kasih
hadiah sebungkus permen coklat ya.
Baiklah. Aku paham dengan
isyaratmu itu. Buku itu di tulis oleh Martin Seligman. seorang tokoh yang bergelut
dalam psikologi positif. Ini adalah tokoh hebat. Luar biasa. Coba dicerna
apa yang diungkapkanya. “Bahwa
kebahagiaan autentik berasal dari hasil penilaian diri atau hasil
mengidentifikasi dan menumbuhkan kekuatan fundamental (yang terkait dengan
emosi positif)”. Nah sudah mengerti kan? Jika belum memahami, bisa di baca tulisanya
Paristiana Dian Fikroti, Memahami Konsep Kebahagiaan Martin Seligmen,
dalam Pijarpsikologi.org. edisi 3 Mei
2019.
Aku
bahagia. Semua bahagia. Meskipun dengan hal yang sederhana. Namun ada hal yang
harus kita ketahui. Pengetahuan ini adalah wajib bagi Muslim. Cobalah membaca
sebentar firman Allah ini. “Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS
Al-Qashash : 77)
Ah,
ternyata khitan sudah selesai. Aku harus beralih profesi. Menjadi driver. Mengantarkan
“peserta” yang di khitan ke Gunung Sangkaran. Lokasi yang tidak jauh dari
jembatan Way Tahmi. Aku bahagia mendapatkan tugas terhormat ini.
Aku
masih bahagia. Kembali lagi menemui kedua “mempelai” yang sedari tadi membuatku
mencari nuansa berbeda. Ku temukan nuansa itu adalah Mas Aji dengan pakaian
yang tidak biasa. Nampak gagah. Sementara, Jeng Rina, juga anggun. Hmm...pengantin
baru nih. Batinku.
“Ayo
bulan madu Mas, mumpung Ashraff ga ikut. Yakin saja, Ashraff akan bahagia kok,
kalau ada temenya”. He.he.he
Jeng, jangan marah ya. Kalau
sewot, aku tunggu hari Sabtu di
Rebang Tangkas ya. Lebih asyik kalau ada bidan yang ikut. Ada bujang kader IMM
juga disana.
Akhirnya,
selamat menikmati perjalanan ke Rebang Tangkas. Nikmati keseruan dalam
perjalanan. Jika ada bidan yang ikut, mendokumentasikan jalanan yang unik itu
lebih baik. minimal untuk pengalaman.
Di
samping Pa’de Eko menceletuk, “ngarep wae
mas”. Sambil terkekeh. Kata itu, maksudnya sangat berharap. Entah kepada siapa
harapan itu tertuju.
Blambangan
Umpu, 11 September 2020
Label: Muhammadiyah Corner
2 Comments:
-
- Ciwul/RuangSuci said...
12 September 2020 pukul 06.51Barokalloh- Rois broo said...
12 September 2020 pukul 15.22ππππͺπͺπͺ