Senin, 28 September 2020
Oleh : Munawar
Sponsored PCPM Bumi Agung
Aku
tersentak, saat Mas Jayadi menyebut kalimat “sistematika ikhlas”. Jujur, baru
kali ini aku mendengarnya. Sebuh kalimat yang menggodaku untuk terus mengikuti
obrolan yang terjadi. Bincang-bincang sederhana antara Ketua PDM, Direktur RSHK,
Tim Lazismu. Sebuah suasana yang teramat “cair” untuk dinikmati. Suasana yang
terbangun saat khitanan Lazismu di Kampung Runyai, Ahad 27 September 2020.
Tim
Medis Lazismu masih berkonsentrasi penuh. Mas Abu, Mas Ali Imron dan mas Anis
Mahendra. Ketiganya cukup bersemangat, meskipun baru pertama kali menghirup
udara Runyai Bumi Agung. Dengan pengalaman yang dimiliki oleh ketiganya, maka
aku tidak “wajib” turun tangan. Sebab, akan berdampak cukup signifikan, jika
aku “turun gunung”, ikut mengkhitan.
Aku
lihat, Komandan KOKAM Way Kanan bersemangat. Memberi semangat kepada anak yang
di khitan. Hmm, logat Jawa nya belum nampak, meskipun berbahasa Jawa. Dengan ikhlas,
Bang Emon menuntun melafalkan surat-surat pendek juz ke 30. Dimulai dari Surat
Al-Fatihah sampai Al-Ikhlas. Itu yang aku dengar. Ini menandakan bahwa banyak
cara untuk “menghilangkan” konsentrasi anak saat di khitan.
Satu hal yang pasti, semangat dalam menjalankan persyarikatan harus selalu ada. Selalu siap sedia, selalu bergembira. Sebuah gambaran yang tertera dalam Mars Pemuda Muhammadiyah. Semangat memberi tanpa pamrih. Mengeluarkan semangat kebersamaan dan keikhlasan. Menjalani kehidupan yang sudah ditentukan.
Nah, kesempatan terbaik saat ini adalah menuliskanya. Meskipun tidak keseluruhanya. Sebab jika semua, tidak cukup empat semester menyelesaikan materi itu. Sambil membayangkan Mas Jayadi berbicara, sedikit aku uraikan. Istilah sistematika ikhlas itu mempunyai tiga poin. Pemberi, harapan dan hasil. Sederhananya adalah pemberi dibagi harapan sama dengan hasil.
Hmm, aku tersenyum sembari mengangguk. Kemudian aku melanjutkan ingatan tadi. Jika kita memberikan sesuatu kepada orang lain dan berharap akan mendapatkan dua, maka kita hanya menghasilkan setengah. Sementara, jika kita memberi satu dan berharap satu, maka hasil yang akan diperoleh adalah satu. Namun, jika kita memberikan satu dengan tidak mengharapkan apa-apa, maka hasilnya sungguh luar biasa. Tak terhingga. Begitulah kira-kira apa yang aku tangkap dalam obrolan santai tadi.
Luar biasa memang. Cukup berharga ilmu tersebut. Namun akan menjadi sia-sia jika kita tidak mampu melaksanakan. Aku pun harus berterimakasih atas pemberian ilmu tadi. Sebuah pengetahuan yang tidak pernah aku dapatkan saat belajar bersama Aristoteles, Socrates, Plato bahkan Rene Descartes. Pengetahuan ini justru aku dapatkan di sebuah kampung. Runyai namanya.
Bagiku, pengetahuan adalah ilmu. Namun, tidak bisa sesederhana untuk menggambarkan atau menjelaskan sebuah ilmu pengetahuan. Membutuhkan lebih dari sekedar tahu. Sebab, tahu saja tidak cukup, dibutuhkan tindakan aksioma yang konsisten, kata Ayahanda Ketua PDM saat sampai pertigaan simpang Way Tuba.
“Kita
tahu, bahwa sholat itu wajib hukumnya. Namun, tidak semua bisa melaksanakan
kewajiban itu. Artinya, diperlukan sebuah tindakan. Melaksanakan sholat”. Hmm, konsep
sederhana yang logis.
Runyai,
27 September 2020
Label: Muhammadiyah Corner
Minggu, 27 September 2020
Dokumentasi Khitan Juku Batu Kec. Banjit
0 komentar Diposting oleh ALI SHOLIHIN di Minggu, September 27, 2020Dokumentasi Khitan Lazismu Way Kanan
Label: Dokumen Kegiatan
By: Munawar
Sabtu, 26 September 2020 adalah hari yang menggembirakan. Hari ini, Aku dan Tim Medis Lazismu Way Kanan akan napak tilas. Sebuah perjalanan kembali untuk merealisasikan “wasiat” Ayahanda Edward Anthoni. Sebuah wasiat yang selalu Aku ingat.”War, teruslah berbagi dan membantu masyarakat”. Pesan tersebut disampaikan saat Ayahanda Edward Anthony memberikan zakat profesinya kepada Lazismu Way Kanan.
Sembari menunggu kendaraan tim medis, aku membaca tulisan di Suara Muhammadiyah. Tulisan dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Prof. Dr. K.H. Haedar Nashir, M.Si, “ Muhammadiyah itu organisasi besar yang berdiri tegak diatas sistem, dengan amal usaha dan jaringan yang luas. Kekuatan Muhammadiyah berada dalam sistem, bukan atas hasrat dan kehebatan individual. Muhammadiyah itu Persyarikatan”. Aku menggangguk perlahan. Sebuah pemaknaan yang harus disertai dengan aksi nyata dalam memberi untuk negeri.
Alhamdulillah, kendaraan telah tiba. Aku masuk kendaraan sembari berdoa, “ Subnahalladzi shakhoro lana hadza wa ma kunna lahu muqrinin, wa inna ila rabbina lamungkolibun”. Aku yakin, Mas Wasil, Mas Aji, Jeng Rina dan Bidan Eka sudah hafal di luar kepala. Sementara, sosok kecil Ashraf, mungkin belum hafal. Dalam hati aku berkata, “menjadi kewajiban orang tuanya untuk mengajarkanya”. Hmm, bukankah begitu duhai bidan Eka? Aku bertanya dalam hati sambil tersenyum. Ah, ternyata hari ini muli Eka tidak lagi menggunakan jilbab biru. He.he.
Diawal perjalanan, lagu Iwan Fals terdengar asyik. Meskipun aku bukanlah “penikmat” musik itu, namun aku tetap mampu menikmatinya. “Manusia Setengah Dewa”. Aku hampir hafal lagu itu, meskipun tidak pernah menyanyikan secara langsung. Apalagi live show. Tidak pernah sama sekali. Alunan lagu tersebut terasa menghibur. Saat menikmati itu, sebuh truk dari arah berlawanan melaju dengan kecepatan tinggi. Nyaris saja berbenturan. Beruntung driver yang membawa kami cukup gesit. Aku kagum. Ternyata Mas Wasil lebih gesit dariku. He. he.
Jalan lintas Sumatera sudah tidak asing lagi bagiku. Inilah jalan utama. Dan untuk menuju Kampung Juku Batu, melalui jalan ini merupakan sebuah keniscayaan. Jalanan yang cukup ramai,meskipun akhir pekan. Namun, jalan lintas yang aku lalui hanya sampai di Kecamatan Baradatu. Sebagai seorang “navigator”, aku mengingatkan sang driver untuk belok kanan.
Jalan ini cukup ramai dengan lalu lalang kendaraan. Meskipin tidak selebar dan sebagus jalan Lintas Sumatera. Dibutuhkan konsentrasi level “dewa” untuk bisa melaluinya dengan baik. Aku lirik sekilas, ternyata Mas Wasil masih konsentrasi penuh. Fokus kedepan, meskipun kaca mata hitamnya belum di pakai. Suasana dalam kendaraan cukup hening. Namun lagi-lagi lantunan lagu menggodaku untuk mendengarkanya. “Seberkas Sinar”. Suara Nike Ardila cukup merdu. Namun konsentrasiku bukan pada suara itu. Aku menikmati suara dari arah belakang. Hmm, ternyata merdu juga suara pemilik jilbab juning itu. Aku hanya berharap jangan pernah diajak duet. Bisa berbahaya.
Pada tempat yang sudah ditentukan, aku berhenti sebentar. Tempat ini adalah rumah kediaman Mas Iwan dan Mbak Minati. Nama yang tidak asing bagiku. Keduanya adalah aktivis Muhammadiyah. Mas Iwan adalah Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PDM Way Kanan, sedangkan Mbak Minati adalah ketua Nasyiatul Aisyiah Way Kanan. Disinilah, Kang Mas Ellen dan rombongan menemui. Dari jauh, nampak gadis mungil berkacamata. Cukup lincah dan enerjik. Gadis kecil cantik itu adalah anak Mas Iwan dan Mbak Minati
Kelelahanku terobati, saat sambutan hangat mewarnai kehadiran Tim Lazismu Way Kanan. Aku bahagia, Bapak Kepala Kampung dan masyarakat Juku Batu turut menyambut. Rasa bahagia pun hadir ketika senyuman para bunda PAUD NA Banjit berkembang. Aku menyaksikan langsung senyuman Mbak Minati, Bunda Litakun Karimah dan Bunda Novita Sari. Bagiku dan tentunya Pimpinan Daerah Muhammadiyah Way Kanan, pertemuan hari ini merupakan sebuah anugerah. Bagaimana tidak, sebuah ekspresi kebahagiaan benar-benar terjadi. Pun demikian para orang tua dari anak-anak yang akan di khitan. Semuanya bahagia.
Kehadiran kepala kampung Juku Batu semakin menambah semangat. Kopi yang tersaji menemani obrolan siang ini. Bagiku, tangisan anak yang di khitan adalah sebuah ekspresi kegembiraan. Terlebih lagi, Aku mendapati aura positif dari orang nomor satu di kampung ini. Nama Beliau adalah Pak Joni Helmi. Begitu enerjik, muda, mudah bergaul dan ganteng.
Meskipun hanya lima anak yang akan di khitan, namun suas
ana cukup ramai. Keluarga dan sanak kerabat ingin melihat langsung proses khitan. Walaupun tim Lazismu Way Kanan sudah berusaha memberikan pengertian. Namun, “acara” tersebut lebih menarik untuk dilihat secara langsung. Menyaksikan hal itu, aku hanya tersenyum memaklumi. Biarlah alami berjalan dengan sendirinyaKopi NA yang tersaji hampir habis. Obrolan di bawah terik matahari semakin mengasyikkan. Cuaca panas tidak menyurutkan untuk terus berbagi cerita, meskipun topik pembicaraan berlain-lainan. Maklumlah, sebuah pohon Jengkol melindungi. Aku menyimak dengan baik. Ada hal yang menarik perhatian ku. Dengan cerdik dan ilegan, Mas Wasil menjelaskan sekaligus mengenalkan Muhammadiyah. Jujur, kemampuan diplomasi nya sangat cekatan. Penguasaan bahasa dan alur argumentasi yang di bangun, cukup mengagumkan. Ya itulah, Muhammadiyah yang aku kenal. Begitulah Muhammadiyah berbuat, memberikan yang terbaik untuk anak negeri.
Sudah sewajarnya jika para aktivis Muhammadiyah mengenalkan Muhammadiyah dengan cara yang santun. Berbuat kebajikan adalah instrumen penting dalam ber -Muhammadiyah. Salah satunya adalah khitanan Lazismu. Kegiatan rutin yang sudah berjalan dua tahun lebih. Aku kemudian berkata dalam hati, “maa ajmala hadza mandzor”. Duhai alangkah indahnya pemandangan ini. Ya sebuah komunikasi sederhana nan istimewa dalam mengenalkan Muhammadiyah.
Suasana di dalam kelas PAUD NA Banjit menggodaku. Beranjak aku melihat kedalam. Menyaksikan bagaimana Mas Aji, Jeng Rina dan Bidan Eka sibuk. Menenangkan anak-anak. Demikian juga orang tua mereka yang mendampingi langsung. Meskipun menangis, Syarif, Fahri dan Riski sudah selesai di khitan. Nampaknya, ini pengalaman yang “luar biasa” bagi tim medis Lazismu Way Kanan.
Aku kembali ke bawah pohon Jengkol. Satu-satunya pohon yang dibiarkan tetap berada pada posisinya. Aku sempat berfikir, mungkin para bunda PAUD NA Banjit ini “hobi” makan Jengkol. Ups, aku tersenyum sendiri. Dari jauh nampak sahabat yang gagah datang. Aku biasa memanggilnya Mang Tarsan. Sosok sahabat yang selalu ceria dan tertawa.“Mang, jangan minta di khitan lagi ya”, ucapku saat duduk bersebelahan. Dia pun tertawa lepas. Begitulah keakraban ini tercipta.
Khitan sudah usai. Seperti biasa, masing-masing dapat “hadiah” istimewa dari para donatur. Satu karpet telur, Kopi NA dan satu buah amplop. Entah apa isinya. Yang pasti, bukan sambel jengkol. Aku melihat Mas Iwan tertawa mendengar candaanku.
Air disini cukup dingin. Aku merasakannya saat hendak sholat Dzuhur. Air yang bersumber dari pegunungan sangat jernih. Beruntung masyarakat Juku Batu di anugerahi air yang berlimpah. Sementara, aku sudah beberapa kali membeli air untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Hmm,... Inilah salah satu keadilan dari yang Maha Pencipta. Begitulah pemaknaan terdalam sebelum takbiratul ikhram dilaksanakan. Bagiku, menjadi makmum sudah lebih dari cukup.
Semerbak aroma bunga kopi begitu harum. Aroma khas yang tidak pernah ada di Klinik Ramik Ragom, apalagi di rumah ku. Sungguh aroma yang terlahir dari barisan pohon kopi yang sedang berbunga. Ingin aku menciumnya, namun aku urungkan niat itu. Aku kuatir di tinggal Mas Iwan. Jika hal ini terjadi, maka untuk menuju sungai Way Umpu, harus berjalan. Beruntung “hasrat” untuk mencium bunga kopi aku abaikan, setelah melihat jalan yang cukup “aduhai”.
Di Sungai inilah Ayahanda Edward Anthony pernah bercengkrama. Menikmati pemandangan yang indah. Menyantap makanan yang tersaji. Sangat menikmati suasana yang alami. Suasana yang ada tercipta dari sang Maha Pencipta. Sungai ini telah menjadi saksi nyata. Menggoreskan catatan sejarah yang terus akan mengabadi bersama gerakan Lazismu berbagi.
Disinilah aku berada. Hari ini. Pada sungai yang sama. Aku menyengaja berjalan terlebih dahulu ke sungai. Menyendiri menggali nukilan peristiwa yang terpatri. Menyendiri memaknai aliran sungai yang tiada berhenti mengalir. Menyendiri memantapkan niat melanjutkan “renstra” besar dari sang Maestro Muhammadiyah Way Kanan. Ayahanda Edward Anthony.
Aku masih di sungai ini. Memahami makna air yang terus mengalir. Melukiskan gelombang dan riak-riak air. Merenungi kokohnya bebatuan besar. Semuanya menyatu bersama “rekaman” yang hanya tertuju pada Ayahanda. Tak kuasa, air mata menetes. Jatuh bersama aliran sungai yang berlalu.
Aku sengaja meletakkan topi yang terpakai. Di atas sebuah batu besar. Tepat didepan sebuah batu yang pernah di duduki Ayahanda. Sambil membasuh muka, aku menghela nafas panjang. Inilah sebuah “titah” yang harus selalu bergerak. Ibarat air yang terus mengalir. Bagiku, ini adalah tesa yang harus dilakukan. Dengan itu, maka antitesa akan berkembang. Pada akhirnya akan melahirkan sintesa.
Terimakasih Ayahanda. Engkau telah mengajarkan beragam kebaikan dan kebajikan. Inilah sebuah nuansa yang tidak pernah habis untuk ditulis. Ibarat samudera kebahagiaan yang terus tumbuh. Semakin banyak memberi, kebahagiaan akan terus berkembang.
Tak terasa, waktu terus bergerak. Menu santap siang sungguh lengkap. Menggoda untuk segera di nikmati. Aku tersenyum, saat Jengkol ada diantara menu itu. Meskipun aku tidak tergoda untuk mengambilnya, namun aku tersenyum melihatnya.
Satu kesimpulan sederhana dan sekaligus menemukan sebuah jawaban. Alasan terbaik dengan membiarkan pohon Jengkol itu tetap tumbuh adalah agar bisa di nikmati. Sehingga para Bunda PAUD tidak merasa kesulitan jika suatu saat “ngidam” Jengkol. Cukup menunggu pohon depan sekolah itu berbuah. He.he.
Dalam perjalanan pulang, aku tak mampu memejamkan mata. Bukan karena aku menjadi navigator lagi. Bukan itu. Namun, kembali suara yang tak asing terdengar. Mengikuti lagu yang berirama pop. Ternyata suara bidan Eka. Tak menyangka, suara khasnya keluar kembali. Aku cukup menikmati suara itu, sembari melihat pemandangan alam yang cukup memesona. Keindahan yang tak terlukiskan. Alam yang sangat menggoda mata untuk memandangi lebih lama. Suasana inilah yang membuat sang bidan ini mengaminkan jika memang jodohnya kelak dari Juku Batu. Ya, siapa tahu begitu. Benar kan jeng Rina. He. He
Meskipun hampir dua tahun, aku baru tahu tentang satu hal. Ternyata, sisa kulit yang di khitan (kulup) itu diminta oleh orang tuanya. Entah untuk apa hal tersebut dilakukan. Aku pun tidak berusaha menanyakan. Barangkali hanya tradisi yang sudah turun temurun. Dalam hal ini, aku "wajib" menghargai tradisi yang ada. Bagiku, yang pasti adalah wajib hukumnya bagi laki-laki beragama Islam untuk berkhitan. Cukuplah khitan tersebut menjadi yang pertama dan terakhir.
Juku Batu, 26 September 2020
Label: Muhammadiyah Corner
Selasa, 22 September 2020
Sponcored by : SMP Muhammadiyah Baradatu
Minggu pagi, cuaca kurang bersahabat. Nampak mendung menyelimuti. Terkadang, curah hujan datang. Meskipun hanya sesaat. Fenomena alam ini justru menguatkan tekadku. Menemui para “pejuang” yang sedang “berjihad”. Membangun SMP Muhammadiyah Baradatu. Sebuah medan “pertempuran” yang hanya sanggup di lakukan orang-orang “pilihan”.
Rintik hujan belum mereda. Sementara Matahari enggan menampakkan sinarnya. Kesempatan untuk meninggalkan zona nyaman semakin kuat. Aku berfikir, ini adalah saat yang tepat untuk menerobos gerimis pagi.
“Ayah,
kan masih gerimis”, anak keduaku berkata sambil tetap dipelukanku.
“Shafwa,
gerimis ini anugerah Allah, maka Ayah wajib mensyukurinya. Nah salah satu
caranya membagi waktu untuk Muhammadiyah” , aku menjelaskan sembari mencium
pipi kirinya.
“Ooo....begitu
ya”, jawabnya sambil bernyanyi. Mars KOKAM, dengan suara khasnya. ”KOKAM berani
ikhlas dan bersahaja, berjuang untuk Islam dan Indonesia”.
Aku tersenyum. Keceriaan anak adalah restu. Membagi waktu memerlukan keberanian tersendiri. Berbagi waktu antara pengabdian, keluarga dan Muhammadiyah. Porsi terakhir adalah “menyisakan” sedikit waktu untuk Muhammadiyah. Ya, benar. Dalam dua puluh empat jam, bagiku dua menit memikirkan Muhammadiyah sudah cukup. Meskipun dua menit itu hanya melihat baju resmi Muhammadiyah. He.he.he.
Mendung masih menemani perjalananku. Roda dua yang aku kendarai menjadi sahabat setia. Menempuh jalan lintas Sumatera. Melewati sungai Umpu yang tak jernih. Terkadang, kecepatan laju kendaraan harus perlahan. Bukan takut ada “razia” di perjalanan. Namun untuk memastikan saja, bahwa aku berada pada jalur yang benar. Jalur sebelah kiri.
Rekor terpecahkan hari ini. Betapa tidak. Semenjak aku pulang dari mengembara akhir dua ribu lima, baru kali ini aku kesini. Memasuki rumah yang asri. Rumah milik pak Direktur RSHK. Hi. Muhammad Jayadi, S.Pd. Maafin aku ya pak, baru hari ini sempat minum teh di rumah bapak. He.he.
Obrolan begitu cair. Meskipun hanya bertiga, namun cukup menghasilkan program yang berbobot. Mas Iwan, Pak Jayadi dan aku terus membahas program pengembangan SMP Muhammadiyah Baradatu. Rumusan baru untuk progres sudah di hasilkan. Inilah mengapa, aku “rela” menyisakan waktu untuk Muhammadiyah. Mengasyikkan dan menggembirakan.
Mentari seakan masih “tertidur”, saat tiba di lokasi pembangunan. Aku begitu terharu melihat para Ayahanda Pimpinan Cabang Muhammadiyah Baradatu bersemangat. Menyelesaikan bangunan SMP Muhammadiyah Baradatu. Bangunan yang direncanakan berlantai tiga. Ya, lantai tiga. Bangunan yang di support secara penuh oleh Mbah Kamino, Hj. Fatimah, Pak Jayadi, Dokter Wawan, Keluarga besar RSHK, PCM Baradatu. Sudah tentu, keluarga besar Muhammadiyah Way Kanan juga. Sebuah perpaduan dalam kerangka memaknai pesan Mbah Dahlan, “hidup hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah”.
Sebenarnya kangen juga dengan Mas Wawan. Eh...Dokter Wawan. Lama tidak berjumpa. Kangen dengan cerita-cerita khas seorang dokter. Terlebih lagi ciri khas pembicaraanya. Semakin menambah kangen. He.he. namun, tidak mengapa. Dalam hati aku berucap, “semoga sehat selalu dan terimakasih sudah bergabung di Tim Khitan LAZISMU Way Kanan”.
SMP Muhammadiyah Baradatu nampak gagah. Meskipun masih berproses. Membangun tahab demi tahab sebuah peradaban mulia. Aku berdoa, semoga pembangunan dan pengembangan Amal Usaha Muhammadiyah ini bisa berkembang. Aku pun berharap, jika para aktivis Muhammadiyah belum sempat datang, berdoa adalah sebuah kebaikan. Terlebih lagi untuk kemaslahatan umat.
Gerimis masih berlangsung, saat aku tiba di lokasi. Nampak Ayahanda Pimpinan Cabang Muhammadiyah Baradatu sedang bergembira dengan bekerja. Ayahanda Sukendro, Ayahanda Walono dan Ayahanda Sahadi. Ketiganya nampak bersemangat. Ber Fastabiqul Khairat. Semuanya pun bersemangat untuk bersinergi mewujudkan Amal Usaha Muhammadiyah bidang Pendidikan.
Pun demikian dengan operator SMP Muhammadiyah Baradatu. Juga berbahagia. Dengan semangat, bisa hadir. Priska Indah Wahyuningsih namanya. Jujur, aku baru pertama kali bertemu denganya. Bagiku ini adalah pertemuan pertama. Meskipun demikian, keakraban terjalin. Beragam cerita mengalir dari seorang yang mempunyai julukan “nyawa” sekolahan.
“Sehat
selalu Mbak Indah”, aku menyapa untuk pertama kalinya.
“Alhamdulillah,
sehat Pak”, Indah menjawab.
“Namamu
bagus, masih semangat kan mengabdi?, aku bertanya sesaat kemudian.
“Biasa
saja pak, Insya Allah semangat pak”, Indah menjawab sambil tersenyum di balik
maskernya.
Baju merah yang dikenakan nampak anggun. Dengan bersemangat menceritakan apa yang sudah di lakukan. Suka duka senantiasa mengiringi. Begitulah, perjuangan memang tidaklah mudah. Namun, akan lebih mudah jika di lakukan bersama-sama. Aku sedikit menyenggol tangan Mas Iwan. Memberi isyarat jempol. Dengan tersenyum Mas Iwan pun mengacungkan jempol.
Semangatku untuk tetap “menyisakan” waktu buat Muhammadiyah semakin menyala. Meskipun rintangan senantiasa menghadang. Aku sadar akan hal itu. Maka, mengajak untuk bersama-sama adalah hal terbaik. Menjaga semua aset Muhammadiyah. Memakmurkan amal usaha Muhammadiyah sekaligus mengisinya semampu kita. Jika hal ini terjadi, bukan mustahil sekolah Muhammadiyah akan menjadi rujukan sekolah lainya. Boleh lah saya bermimpi seperti itu. He.he.he
Pesan WhatsAap berbunyi. Aku lihat nama tertera. Komandan KOKAM. Aku agak tergelitik dengan panggilan “ayahanda”. Hmm...nama yang memang melekat. Namun belum enjoy untuk aku kenakan. Cukup panggil “mas”. Aku akan berbahagia. Begitulah, tradisi di Muhammadiyah. Terkadang aku juga tidak bisa mengelak.
Cukup berbahagia tatkala empat kawan muda Muhammadiyah berkunjung. Bang Emon Trisilo. Sang Komandan KOKAM Pemuda Muhammadiyah Way Kanan. Ada juga Bang Bahari Sanjaya, Bang Hodi Feriyansyah dan Ketua Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Bumi Agung. Bung Jemi Adi Sastra. Sungguh, ini peristiwa yang wajib aku abadikan. Siapa tahu, kunjungan kedua kelak, “si bujang” itu sudah menyebarkan undangan. Menikah. He.he.
Aku tersenyum bahagia dengan kehadiran mereka. Bagiku ini adalah salah satu bentuk kebersamaan yang harus ada. Kebersamaan untuk memajukan Muhammadiyah Way Kanan. Maka, sebagai warga Muhammadiyah, aku perpesan pada Komandan KOKAM. “Jaga seluruh aset Muhammadiyah di Way Kanan dan bersiap untuk mengisi kegiatan adik-adik di sekolah Muhammadiyah”. Dengan tersenyum bang Emon menjawab. ”Siap”. Sebuah jawaban yang membahagiakan.
Minggu ini cukup bersejarah bagiku. Sebuah tonggak untuk terus memajukan amal usaha Muhammadiayah bidang pendidikan. Semangat kebersamaan tetap harus dijaga dan dilestarikan.
Aku
menghela nafas sambil menyeruput kopi. Alunan lagu “Sang Surya” melantun
perlahan. “Sang surya tetap bersinar. Syahadat dua melingkar. Warna yang hijau
berseri. Membuatku rela hati”.
Label: Muhammadiyah Corner
Kamis, 17 September 2020
Bupati Dialog Kebangsaan dengan Muhammadiyah Way Kanan
0 komentar Diposting oleh ALI SHOLIHIN di Kamis, September 17, 2020
Blambangan Umpu (pdmwaykanan)--Pimpinan
Daerah Muhammadiyah Kabupaten Way Kanan dan Rombongan hadiri Undangan Diskusi Kebangsaan Bupati Way Kanan, Hi. Raden Adi Pati Surya pada Rabu, 16 September 2020 di
Rumah Dinas Bupati Way Kanan.
Ketua
Pimpinan Daerah Muhammadiyah Way Kanan, Hi. Joko Susanto mengatakan,
sebagaimana lazimnya Organisasi Massa lainya, pertemuan tersebut tentu
menyambung relasi antara Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, dengan Pemerintah
Daerah untuk meningkatkan kerjasama dan usaha kolektif sosial masyarakat dalam
rangka mencari solusi dari persoalan yang ada di masyarakat...
“Ada
banyak hal yang didiskusikan secara mencair, terutama dalam konteks
mengembangkan gerakan kemandirian persyarikatan Muhammadiyah dan gerakan sosial
Muhammadiyah. Dengan kemandirian, maka
Muhammadiyah akan bersama-sama pemerintah membantu masyarakat yang membutuhkan.
Sedangkan dengan gerakan sosial, Muhammadiyah telah secara nyata berbuat kebaikan kepada masyarakat”, ungkap Joko
Susanto..
Sementara
itu, Pimpinan Daerah Muhammadiyah lainya, Wasil Prawira mengatakan bahwa, Tugas
Bupati sebagai Kepala Daerah adalah membantu Muhammadiyah dan Ormas lainya
dalam rangka mewujudkan sinergitas. Hal ini dimaksudkan agar pola hubungan
antara Ulama dan umaro akan terjalin dengan baik.
“Nah dalam konteks ini tentu kita berharap
bahwa Bupati Way Kanan mampu memberikan solusi atas apa yang sedang terjadi di
masyarakat. karena pada hakekatnya, kewajiban Pemerintah Daerah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat,
sedangkan Tugas Muhammadiyah membantu Pemerintah Daerah untuk mengatasi
persoalan yang terjadi di daerah dengan melalui gerakan sosial kemasyarakatan,”
jelas Wasil Prawira.
Dalam
pertemuan tersebut Munawar selaku ketua LAZISMU juga menyampaikan bahwa Gerakan
sosial yang dilaksanakan merupakan gerakan untuk membantu masyarakat yang
membutuhkan. Muhammadiyah bukan hanya sekedar berteori akan tetapi melaksanakan
aksi nyata di kabupaten Way Kanan.
“Pada
prinsipnya, berbagi kebaikan adalah kewajiban kita bersama. Dengan khitanan
gratis yang dilakukan LAZISMU yang bersinergi dengan seluruh Ortom se kabupaten
Way Kanan mampu membantu masyarakat yang membutuhkan, terlebih lagi di era
pandemi ini”, tutup Munawar.
Hadir
dalam pertemuan tersebut Anggota Pleno PDM, Aisyiah, Majelis dan Lembaga dan
Organisasi Otonom Muhammadiyah Way Kanan.
Label: Info Terkini
Selasa, 15 September 2020
PDM Way Kanan Sambut Bacalon Bupati dan Bacalon Wakil Bupati
0 komentar Diposting oleh ALI SHOLIHIN di Selasa, September 15, 2020
Label: Info Terkini