Pages

Senin, 02 Maret 2009


Oleh Syamsul Arifin *

PADA 5-8 Maret 2009, Muhammadiyah menggelar perhelatan besar, satu tingkat di bawah muktamar. Sidang tanwir. Kendati tidak sebesar dan sesemarak muktamar, tanwir yang dilaksanakan di Lampung tersebut tetap memiliki makna strategis, terutama kalau mempertimbangkan konteks waktu pelaksanaan yang berdekatan dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden. Bagi Muhammadiyah, perhelatan politik nasional tersebut tentu tidak akan dilewatkan begitu saja.

Jumlah konstituen Muhammadiyah lumayan besar. Berdasarkan hitung-hitungan kasar, Muhammadiyah diperkirakan memiliki 30 juta pengikut, separo dari yang dimiliki Nahdlatul Ulama (NU). Dengan jumlah sebesar itu, wajar jika Muhammadiyah selalu dipertimbangkan, dan bahkan diperebutkan oleh sejumlah partai politik. Yang secara eksplisit mencari dukungan dari Muhammadiyah adalah Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Matahari Bangsa (PMB).

Di luar PAN dan PMB, masih ada partai politik lain yang ingin mendapatkan tumpahan suara dari orang-orang Muhammadiyah dengan menggunakan alasan kemiripan budaya keagamaan, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Tidak sedikit warga Muhammadiyah yang bersimpati pada PKS hanya karena pertimbangan kemiripan budaya keagamaan, yaitu puritanisme.

Arus Politik

Menghadapi kompetesi tersebut, tanwir Muhammadiyah tertantang menghasilkan pemikiran yang dapat memberikan jaminan terhadap independensi Muhammadiyah. Tanwir Muhammadiyah juga perlu menghindari pemikiran ambigu yang justru dapat membuka peluang praktik politicking, terutama yang akan dilakukan elitenya yang menyimpan ambisi politik tertentu.

Agar pesan tersebut lebih mudah dipahami, mungkin perlu sedikit diperjelas elite yang dimaksud, yakni yang ada di formasi pimpinan, lebih-lebih yang menempati posisi puncak, yaitu ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Muhammadiyah tidak boleh tersandung pada batu yang sama seperti pengalaman pada 2004, ketika M. Amin Rais mencalonkan diri sebagai presiden.

Reformasi yang bergulir sejak satu dekade lalu, pada mulanya memang memberikan citra positif terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah, misalnya, sering disebut sebagai salah satu eksemplar civil Islam setelah lewat tokohnya pada saat itu, M. Amin Rais, berani bersuara lantang tentang urgennya suksesi kepempinan nasional.

Tapi, citra tersebut sedikit tergerus sejalan dengan penciutan makna dan cakupan reformasi yang ternyata lebih menekankan pada kebebasan berekspresi, seperti ditunjukkan dengan banyaknya jumlah partai politik.

Sayang, banyak warga Muhammadiyah terhipnotis oleh megahnya berbagai atribut politik kekuasaan. Inilah salah satu arus besar yang muncul di Muhammadiyah belakangan ini. Karena energi warga Muhammadiyah mulai tersedot pada politik praktis, kesinambungan pembaruan (tajdid) di internal Muhammadiyah mengalami gangguan cukup signifikan.

Hard Puritan

Selain terganggu arus politik praktis, kesinambungan tajdid Muhammadiyah juga terganggu puritanisme warganya yang kian bergeser dari bentuk yang lunak (soft puritan) ke bentuk yang lebih mengeras (hard puritan). Inilah arus kedua yang lumayan menguat di Muhammadiyah belakangan ini.

Pergeseran puritanisme Muhammadiyah, dari yang lunak ke yang keras, bisa terjadi setelah Muhammadiyah mengalami apa yang oleh M.C. Ricklefs disebut dengan infliltrasi dari Islam transnasional, seperti yang dilakukan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Infiltrasi Islam transnasional terhadap warga Muhammadiyah (bedakan dengan Muhammadiyah sebagai organisasi), dimungkinkan bisa terjadi dengan mudah mungkin karena, di satu sisi, terdapat kemiripan semangat dalam memurnikan kembali Islam.

Namun, yang perlu diingat, pemurnian Muhammadiyah sebenarnya sebatas pada wilayah akidah dan ibadah. Adapun pada wilayah sosial (mumalah), Muhammadiyah lebih bersikap terbuka.

Dalam konteks ini, warga Muhammadiyah semestinya segaris dengan Din Syamsuddin yang selalu mengatakan bahwa Muhammadiyah lebih mengedepankan dialektika antara puritanisme akidah dan ibadah dengan tajdid di ranah sosial.

Pembatasan puritanisme Muhammadiyah sengaja disebut kembali karena tidak sedikit dari warga Muhammadiyah, bahkan juga kalangan elitenya, yang justru tidak mampu mengembangkan nalar kritik tatkala menerima paket tambahan pemurnian dari Islam transnasional yang berisi agenda besar untuk mengubah ideologi dan struktur politik di Indonesia. Jika menggunakan ungkapan ideologis HTI, yang dimaksud dengan agenda tersebut adalah tegaknya suatu imperium Islam yang dinamakan daulah khilafah Islam.

Di beberapa forum saya sering dibuat kaget dengan lontaran warga Muhammadiyah, yang tidak sekadar membandingkan, tapi malah mengerdilkan perolehan investasi yang ditanamkan Muhammadiyah selama hampir satu abad, hanya karena tidak menempatkan perubahan politik seperti yang menjadi utopia Islam transnasional sebagai tolok ukur keberhasilan.

Yang mengagetkan lagi, tidak sedikit warga Muhammadiyah yang mulai tertulari cara kerja Islam transnasional yang suka membuat label dan stigma terhadap pihak lain yang tidak sehaluan. Salah satu label dan stigma yang sering digunakan, misalnya, Islam liberal -tentu dalam konotasi pejoratif, bukan akademis- yang ditujukan kepada individu dan komunitas yang menggiatkan pembaruan pemikiran Islam.

Tidak cukup di situ, bahkan pihak yang sebut sebagai Islam liberal juga sering dituduh penyebar "sipilis" (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme). Penggunaan akronim yang mengingatkan pada nama penyakit yang ditakuti semua laki-laki dewasa itu dimaksudkan sebagai peringatan agar umat Islam menjauhi dan mencampakkan sekularisme, pluralisme, dan liberalisme.

* Prof Dr Syamsul Arifin MSi, guru besar Fakultas Agama Islam dan kepala Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) Unmuh Malang.

0 Comments:

Post a Comment