Aku
tersentak, saat Mas Jayadi menyebut kalimat “sistematika ikhlas”. Jujur, baru
kali ini aku mendengarnya. Sebuh kalimat yang menggodaku untuk terus mengikuti
obrolan yang terjadi. Bincang-bincang sederhana antara Ketua PDM, Direktur RSHK,
Tim Lazismu. Sebuah suasana yang teramat “cair” untuk dinikmati. Suasana yang
terbangun saat khitanan Lazismu di Kampung Runyai, Ahad 27 September 2020.
Hari
ini cukup berbahagia. Hari dimana tim medis Lazismu Way Kanan merasa sangat berbahagia.
Bukan karena jarak tempuh atau jalan yang belum bagus. Kebahagiaan itu hadir
dengan tambahan tim medis dari Rumah Sakit Haji Kamino Baradatu. Dengan tambahan
tim ini, letupan semangat “jihad” menambah semangat dalam berbagi untuk negeri.
Terlebih lagi, dihadiri orang-orang “hebat”. Terasa sangat mengasyikkan.
Aku
menyengaja berbagi kegembiraan. Sebuah ekspresi yang terlahir dari suasana yang
cukup familiar. Akrab tanpa ada sekat. Melekat bersama nuansa yang
membahagiakan. Sungguh, sebuah anugerah yang tiada tara. Terasa sangat sulit untuk
melupakan sebuah sejarah yang tercipta. Aku yakin, sejarah hari ini tidak
mungkin akan terulang kembali.
Lihatlah,
Pak Sul. Dengan gembira menemani ngopi “Presiden” Muhammadiyah Way Kanan, Sang
Direktur yang lincah dan pengurus Lazismu. Begitu gembiranya, Pak Sul harus “rela”
menahan sebuah keinginan yang terpendam. Dengan sajian kopiMu dan air nira,
menambah asyik obrolan yang terjadi. Sementara, aku hanya tersenyum dan
mengambil satu hidangan yang tersaji.
Aku
beranjak melihat peserta pertama yang di khitan. Namanya Asqul Mareh Ramirez. Nama
yang cukup unik. Sungguh luar biasa kedua orang tuanya memberikan nama
tersebut. Ananda ini bercita-cita menjadi seorang Dokter. Sungguh luar biasa. Aku
berdoa semoga Allah SWT mengabulkannya. Pun demikian dengan kakaknya, yang
mempunyai cita-cita menjadi imam Masjidil Haram. Sekali lagi, aku berdoa. Semoga
cita-cita tersebut dapat teraih dengan sempurna.
KopiMu
yang terhidang masih setengah. Aku sengaja tidak langsung menghabiskan. Bisa jadi
Kang Hamdani mutung untuk mendokumentasikan kegiatan, jika kopi itu langsung
habis. Aku harus nurut dengan “wejangan” Kang hamdani. Aku tersenyum sambil melirik
sosok yang baru saja di lantik menjadi Advokat itu. Aku yakin, jika Bang Hodi
merasa bahagia dan sekaligus berbagi kebahagiaan dengan hadir pada khitanan
lazismu. Kalaulah boleh aku berharap, agar jangan mendaftar sebagai peserta
khitan ya bang. He.he.
Tim
Medis Lazismu masih berkonsentrasi penuh. Mas Abu, Mas Ali Imron dan mas Anis
Mahendra. Ketiganya cukup bersemangat, meskipun baru pertama kali menghirup
udara Runyai Bumi Agung. Dengan pengalaman yang dimiliki oleh ketiganya, maka
aku tidak “wajib” turun tangan. Sebab, akan berdampak cukup signifikan, jika
aku “turun gunung”, ikut mengkhitan.
Aku
sempat berbicara kepada tim medis sambil bercanda. Sungguh, hari ini luar
biasa. Bagaimana tidak, driver kendaraan yang aku naiki adalah ketua PDM Way
Kanan. Sedangkan tim medis RSHK, langsung pak Direktur. Ketiganya tersenyum
sambil saling pandang. Aku pun tersenyum dan menambahkan candaan. Itulah salah
satu okenya di Muhammadiyah. Tiada strata yang menghalangi. Semuanya biasa
tanpa harus ada sekat penghalang.
Aku
lihat, Komandan KOKAM Way Kanan bersemangat. Memberi semangat kepada anak yang
di khitan. Hmm, logat Jawa nya belum nampak, meskipun berbahasa Jawa. Dengan ikhlas,
Bang Emon menuntun melafalkan surat-surat pendek juz ke 30. Dimulai dari Surat
Al-Fatihah sampai Al-Ikhlas. Itu yang aku dengar. Ini menandakan bahwa banyak
cara untuk “menghilangkan” konsentrasi anak saat di khitan.
Cuaca
cukup terik. Panas sang surya menandakan bahwa hari ini masih musim kemarau. Meskipun
begitu, aku tidak kuatir. Aku yakin bahwa air mudah didapatkan. Terlebih lagi
untuk berwudhu. Aku berbisik lirih ke Ketua PCPM Bumi Agung. Menanyakan
dimanakah letak masjid. Dengan sigap, sang ketua pemuda ini menjawab. “Siap
mengantar”.
Aku
merasa senang, saat ketua PCPM Bumi Agung men-starter kendaraan roda dua. Inilah kesempatan yang tidak pernah aku
dapatkan. Bagaimana tidak, aku duduk dibelakang. Dibonceng bang Jemi menuju
masjid. Tentu ini kesempatan yang cukup berharga. Berjamaah sholat Dzuhur. Menunaikan
kewajiban bagi seorang muslim. Sambil bercanda, aku berbisik lirih. “Bang,
jangan jadi imam ya, kita makmum saja”. Ia hanya tersenyum sambil menghidupkan
kipas angin.
Suasana
khitanan lazismu ini cukup sederhana. Ini sudah menjadi tradisi yang harus
dipertahankan oleh semua warga persyarikatan. Tiada acara lain-lain saat
mengkhitan. Biarlah acara inti saja, mengkhitan. Datang, melaksanakan khitan,
menyampaikan amanah dari donatur dan pulang. Sesederhana mungkin. Siapapun yang
hadir, tidak akan diberikan “panggung” untuk berbicara tunggal. Cukuplah kita
ngobrol dengan beragam cerita dan tema.
Satu
hal yang pasti, semangat dalam menjalankan persyarikatan harus selalu ada. Selalu
siap sedia, selalu bergembira. Sebuah gambaran yang tertera dalam Mars Pemuda
Muhammadiyah. Semangat memberi tanpa pamrih. Mengeluarkan semangat kebersamaan
dan keikhlasan. Menjalani kehidupan yang sudah ditentukan.
Barang
kali ini yang di maksud oleh Mas Jayadi tadi. Sitematika ikhlas. Dimana hanya
keikhlasan yang ada dalam berbuat kebaikan. Karena pada hakekatnya, ikhlas
adalah salah satu poin penting dalam beragama. Bahkan, ikhlas harus menjadi
urat nadi bagi kader-kader Muhammadiyah.
Aku
kemudian teringat akan Ayahanda Haedar Nashir. Beliau menulis dalam majalh Suara Muhammadiyah, edisi 25 Juli 2018. Ayahanda menulis, “Kebesaran Muhammadiyah itu lahir dari jiwa,
sikap, dan pengkhidmatan para mukhlisin dan mujahidin gerakan itu. Keikhlasan
dan kesungguhan merupakan energi ruhaniah yang dahsyat dalam membawa
keberhasilan perjuangan dakwah sepanjang sejarah. Mereka tidak pernah mengejar
jabatan, yang dapat menghilangkan nilai perjuangan dan pahala amaliahnya
laksana debu di atas batu yang tertiup angin kencang”.
Dalam
perjalanan pulang, aku masih mengingat apa yang disampaikan Mas Jayadi. Sebuah pemahaman
yang bijak untuk bisa melaksanakan sistematika ikhlas. Aku ingat, dengan gaya
khasnya, pak Direktur menyampaikan secara terperinci. Cukup lugas dalam
penyampainya. Aku tetap diam mendengarkanya.
Nah,
kesempatan terbaik saat ini adalah menuliskanya. Meskipun tidak keseluruhanya. Sebab
jika semua, tidak cukup empat semester menyelesaikan materi itu. Sambil membayangkan
Mas Jayadi berbicara, sedikit aku uraikan. Istilah sistematika ikhlas itu
mempunyai tiga poin. Pemberi, harapan dan hasil. Sederhananya adalah pemberi
dibagi harapan sama dengan hasil.
Hmm,
aku tersenyum sembari mengangguk. Kemudian aku melanjutkan ingatan tadi. Jika kita
memberikan sesuatu kepada orang lain dan berharap akan mendapatkan dua, maka
kita hanya menghasilkan setengah. Sementara, jika kita memberi satu dan
berharap satu, maka hasil yang akan diperoleh adalah satu. Namun, jika kita
memberikan satu dengan tidak mengharapkan apa-apa, maka hasilnya sungguh luar
biasa. Tak terhingga. Begitulah kira-kira apa yang aku tangkap dalam obrolan
santai tadi.
Luar
biasa memang. Cukup berharga ilmu tersebut. Namun akan menjadi sia-sia jika
kita tidak mampu melaksanakan. Aku pun harus berterimakasih atas pemberian ilmu
tadi. Sebuah pengetahuan yang tidak pernah aku dapatkan saat belajar bersama
Aristoteles, Socrates, Plato bahkan Rene Descartes. Pengetahuan ini justru aku
dapatkan di sebuah kampung. Runyai namanya.
Bagiku,
pengetahuan adalah ilmu. Namun, tidak bisa sesederhana untuk menggambarkan atau
menjelaskan sebuah ilmu pengetahuan. Membutuhkan lebih dari sekedar tahu. Sebab,
tahu saja tidak cukup, dibutuhkan tindakan aksioma yang konsisten, kata
Ayahanda Ketua PDM saat sampai pertigaan simpang Way Tuba.
“Kita
tahu, bahwa sholat itu wajib hukumnya. Namun, tidak semua bisa melaksanakan
kewajiban itu. Artinya, diperlukan sebuah tindakan. Melaksanakan sholat”. Hmm, konsep
sederhana yang logis.
Runyai,
27 September 2020